Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) atau Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale.
PPOM merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.
Bronkitis Kronis
Pengertian Bronkitis Kronis
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002).
Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.
Patofisiologi Bronkitis Kronis
Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernafasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.
Tanda dan Gejala Bronkitis Kronis
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia
2. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar
3. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.
4. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat
Bronkiektasis
Pengertian Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe. (Bruner & Suddarth)
Patofisiologi Bronkiektasis
Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.
Tanda dan Gejala Bronkiektasis
1. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak
2. Jari tabuh, karena insufisiensi pernapasan
3. Riwayat batuk berkepanjangan dengan sputum yang secara konsisten negatif terhadap tuberkel basil
Pemeriksaan Penunjang
• Bronkografi
• Bronkoskopi
• CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial
Emfisema
Pengertian Emfisema
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).
Patofisiologi Emfisema
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak nafas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Tanda dan Gejala Emfisema
• Dispnea
• Takipnea
• Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
• Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
• Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
• Hipoksemia
• Hiperkapnia
• Anoreksia
• Penurunan BB
• Kelemahan
Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen dada : hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran interkosta dan jantung normal
2. Fungsi pulmonari (terutama spirometri) : peningkatan TLC dan RV, penurunan VC dan FEV.
Asma
Pengertian Asma
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Bruner & Suddarth, 2002)
Patofisiologi Asma
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor a- dan b-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor a adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor b-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor a- dan b-adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor -alfa mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan b-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos.
Tanda dan Gejala Asma
• Batuk
• Dispnea
• Mengi
• Hipoksia
• Takikardi
• Berkeringat
• Pelebaran tekanan nadi
Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen dada : hiperinflasi dan pendataran diafragma
2. Pemeriksaan sputum dan darah : eosinofilia (kenaikan kadar eosinofil). Peningkatan kadar serum Ig E pada asma alergik
3. AGD : hipoksi selama serangan akut
4. Fungsi pulmonari :
• Biasanya normal
• Serangan akut : Peningkatan TLC dan FRV; FEV dan FVC agak menurun
Asuhan Keperawatan PPOM
Pengkajian
Pengkajian mencakup pengumpulan informasi tentang gejala-gejala terakhir juga manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang jelas dari proses penyakit :
• Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan ?
• Apakah aktivitas meningkatkan dispnea? Jenis aktivitas apa?
• Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
• Kapan selama siang hari pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
• Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
• Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan kondisinya?
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan; pertanyaan yang patut dipertimbangkan untuk mendapatkan data lebih lanjut termasuk :
• Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
• Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya?
• Apakah pasien mengkonstriksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
• Apakah pasien menggunakan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
• Apakah tampak sianosis?
• Apakah vena leher pasien tampak membesar?
• Apakah pasien mengalami edema perifer?
• Apakah pasien batuk?
• Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
• Bagaimana status sensorium pasien?
• Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
Diagnosa Keperawatan PPOM
a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.
b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi
c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang informasi.
Intervensi PPOM
a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.
Intervensi :
Mandiri
• Auskultasi bunyi nafas
• Kaji frekuensi pernapasan
• Kaji adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan dan penggunaan otot bantu pernapasan
• Berikan posisi yang nyaman pada pasien : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
• Hindarkan dari polusi lingkungan misal : asap, debu, bulu bantal
• Dorong latihan napas abdomen
• Observasi karakteristik batuk misalnya : menetap, batuk pendek, basah
• Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung
• Berikan air hangat
Kolaborasi :
• Berikan obat sesuai indikasi : bronkodilator, Xantin, Kromolin, Steroid oral/IV dan inhalasi, antimikrobial, analgesik
• Berikan humidifikasi tambahan : missal nebulaser ultranik
• Fisioterapi dada
• Awasi GDA, foto dada, nadi oksimetri
b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi
Mandiri :
• Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan alat bantu pernapasan
• Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk bernapas
• Kaji kulit dan warna membran mukosa
• Dorong mengeluarkan sputum,penghisapan bila diindikasikan
• Auskulatasi bunyi nafas
• Palpasi fremitus
• Awasi tingkat kesadaran
• Batasi aktivitas pasien
• Awasi TV dan irama jantung
Kolaborasi :
• Awasi GDA dan nadi oksimetri
• Berikan oksigen sesuai indikasi
• Berikan penekan SSP (antiansietas, sedatif atau narkotik)
• Bantu intubasi, berikan ventilasi mekanik
c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
Intervensi :
Mandiri :
• Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Evalusi berat badan
• Auskultasi bunyi usus
• Berikan perawatan oral sering
• Berikan porsi makan kecil tapi sering
• Hindari makanan penghasil gas dan minuman berkarbonat
• Hindari makanan yang sangat panas dan sangat dingin
• Timbang BB.
Kolaborasi :
• Konsul ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna
• Kaji pemeriksaan laboratorium seperti albumin serum
• Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi
• Berikan oksegen tambahan selama makan sesuai indikasi
d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi
Intervensi :
• Awasi suhu
• Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan msukan cairan adekuat
• Observasi warna, karakter, bau sputum
• Awasi pengunjung
• Seimbangkan aktivitas dan istirahat
• Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat
Kolaborasi :
• Dapatkan spesimen sputum
• Berikan antimikrobial sesuai indikasi
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang informasi.
• Jelaskan proses penyakit
• Jelaskan pentingnya latihan nafas, batuk efektif
• Diskusikan efek samping dan reaksi obat
• Tunjukkan teknik penggunaan dosis inhaler
• Tekankan pentingnya perawatan gigi /mulut
• Diskusikan pentingya menghindari orang yang sedang infeksi
• Diskusikan faktor lingkungan yang meningkakan kondisi seperti udara terlalu kering, asap, polusi udara. Cari cara untuk modifikasi lingkungan
• Jelaskan efek, bahaya merokok
• Berikan informasi tentang pembatasan aktivitas, aktivitas pilihan dengan periode istirahat
• Diskusikan untuk mengikuti perawatan dan pengobatan
• Diskusikan cara perawatan di rumah jika pasien diindikasikan pulang.
ok teman' cuman ini aja,, mata saya sudah tidak besahabat lagi..
salam Adi Dom.
Senin, 25 April 2011
Selasa, 12 April 2011
5 Fakta Seputar Bir
Adidom9.blogspot.com. Jika Amerika Serikat mempunyai minuman beralkohol resmi, barangkali bir yang akan terpilih. Menurut data Brewers Association, pasar minuman bir di Amerika mencapai 101 miliar dollar AS pada tahun 2009. Selain di negeri Paman Sam, bir termasuk dalam minuman yang populer di seluruh dunia.
Meski mengandung alkohol, ternyata bir juga punya manfaat bagi kesehatan. Dalam takaran kecil, bir disebutkan bisa mencegah penyakit jantung. Di tengah kontroversi mengenai minuman ini, kami sajikan 5 fakta mengenai bir.
1. Kandungan di dalam bir
Kandungan utama dari bir adalah air, juga bunga, jamur dan padi-padian. Bir mendapat rasa khasnya dari hops, sejenis bunga merambat. Sementara itu kandungan alkoholnya berasal dari padi-padian, terutama jewawut (barley), yang dibiarkan berkecambah dan mengeluarkan ragi. Penelitian menunjukkan bir mengandung berbagai jenis protein yang dihasilkan dari yeast.
2. Kandungan anti kanker
Tanaman hops yang memberi rasa pahit serta aroma buah pada bir ternyata punya kekuatan melawan kanker. Menurut studi tahun 2009 yang dimuat dalam Journal of Agricultural and Food Chemistry, Hops memiliki antioksidan, pelawan sel kanker, yang lebih baik daripada red wine, teh hijau, atau produk kedelai. Antioksidan yang cuma ditemukan dalam tanaman hops ini disebut xanthohumol.
Masalahnya adalah untuk mendapatkan manfaat antioksidan dari hops kita perlu minum sekitar 118 galon (450 liter) bir setiap hari. Karena itu para peneliti kini tengah berusaha khasiat antikanker dalam hops ini bisa dibuat menjadi pil.
3. Menguatkan tulang
Walau bir bukan tergolong minuman yang direkomendasikan tapi minuman ini mengandung silikon yang baik untuk kesehatan tulang. Dalam studi yang dimuat dalam Journal of the Science of Food and Agriculture, bir yang kaya akan kandungan barley dan hops memiliki silikon lebih banyak dibanding bir yang terbuat dari gandum.
4. Berdampak buruk untuk ginjal
Manfaat buruk bir sepertinya sudah diketahui banyak orang, mulai dari membuat mabuk, menimbulkan kecanduan berat, mengganggu tidur, dehidrasi, hingga memicu penyakit ginjal dan meningkatkan risiko kanker. Pecandu alkohol juga berisiko 7 kali lebih tinggi menderita kanker pada organ pencernaan.
5. Baik untuk jantung
Ilmuwan Kanada menemukan bahwa minum alkohol dapat meningkatkan level kolesterol ke kadar baik. Penelitian selama bertahun-tahun memang menyarankan minum alkohol dalam kadar cukup (tidak lebih dari 14 gram) karena memiliki manfaat kesehatan yang positif.
Meski mengandung alkohol, ternyata bir juga punya manfaat bagi kesehatan. Dalam takaran kecil, bir disebutkan bisa mencegah penyakit jantung. Di tengah kontroversi mengenai minuman ini, kami sajikan 5 fakta mengenai bir.
1. Kandungan di dalam bir
Kandungan utama dari bir adalah air, juga bunga, jamur dan padi-padian. Bir mendapat rasa khasnya dari hops, sejenis bunga merambat. Sementara itu kandungan alkoholnya berasal dari padi-padian, terutama jewawut (barley), yang dibiarkan berkecambah dan mengeluarkan ragi. Penelitian menunjukkan bir mengandung berbagai jenis protein yang dihasilkan dari yeast.
2. Kandungan anti kanker
Tanaman hops yang memberi rasa pahit serta aroma buah pada bir ternyata punya kekuatan melawan kanker. Menurut studi tahun 2009 yang dimuat dalam Journal of Agricultural and Food Chemistry, Hops memiliki antioksidan, pelawan sel kanker, yang lebih baik daripada red wine, teh hijau, atau produk kedelai. Antioksidan yang cuma ditemukan dalam tanaman hops ini disebut xanthohumol.
Masalahnya adalah untuk mendapatkan manfaat antioksidan dari hops kita perlu minum sekitar 118 galon (450 liter) bir setiap hari. Karena itu para peneliti kini tengah berusaha khasiat antikanker dalam hops ini bisa dibuat menjadi pil.
3. Menguatkan tulang
Walau bir bukan tergolong minuman yang direkomendasikan tapi minuman ini mengandung silikon yang baik untuk kesehatan tulang. Dalam studi yang dimuat dalam Journal of the Science of Food and Agriculture, bir yang kaya akan kandungan barley dan hops memiliki silikon lebih banyak dibanding bir yang terbuat dari gandum.
4. Berdampak buruk untuk ginjal
Manfaat buruk bir sepertinya sudah diketahui banyak orang, mulai dari membuat mabuk, menimbulkan kecanduan berat, mengganggu tidur, dehidrasi, hingga memicu penyakit ginjal dan meningkatkan risiko kanker. Pecandu alkohol juga berisiko 7 kali lebih tinggi menderita kanker pada organ pencernaan.
5. Baik untuk jantung
Ilmuwan Kanada menemukan bahwa minum alkohol dapat meningkatkan level kolesterol ke kadar baik. Penelitian selama bertahun-tahun memang menyarankan minum alkohol dalam kadar cukup (tidak lebih dari 14 gram) karena memiliki manfaat kesehatan yang positif.
Dikutip dari Kompas.com
Minggu, 10 April 2011
LP HALUSINASI
HALUSINASI
A. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) pasca indera tanpa adanyarangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik.
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.
Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa ditemukan 85% pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk menulis kasus tersebut dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.
B. Klasifikasi
Klasifikasi halusinasi sebagai berikut :
1. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya.
2. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada.
3. Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
4. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau / hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
5. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.
C. Etiologi
Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
D. Psikopatologi
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.
E. Tanda dan Gejala
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan.
Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
Download Askep halusinasi di sini
A. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) pasca indera tanpa adanyarangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik.
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.
Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa ditemukan 85% pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk menulis kasus tersebut dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.
B. Klasifikasi
Klasifikasi halusinasi sebagai berikut :
1. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya.
2. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada.
3. Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
4. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau / hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
5. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.
C. Etiologi
Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
D. Psikopatologi
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.
E. Tanda dan Gejala
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan.
Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
Download Askep halusinasi di sini
Label:
KATEGORI
Sabtu, 09 April 2011
LP DYSPEPSIA
Dyspepsia
1. Pengertian
Dyspepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan (Arif, 2000).
Dyspepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, sendawa (Dharmika, 2001).
Sedangkan menurut Aziz (1997), sindrom dyspepsia merupakan kumpulan gejala yang sudah dikenal sejak lama, terdiri dari rasa nyeri epigastrium, kembung, rasa penuh, serta mual-mual.
2. Etiologi
Penyebab dyspepsia dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Dyspepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya (misalnya tukak peptic, gastritis, pankreastitis, kolesistitis dan lainnya).
b. Dyspepsia non organik atau dyspepsia fungsional atau dyspepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.
3. Tanda dan Gejala
Didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dyspepsia menjadi tiga tipe :
a. Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala :
1) Nyeri epigastrium terlokalisasi
2) Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
3) Nyeri saat lapar
4) Nyeri episodik
b. Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia), dengan gejala :
1) Mudah kenyang
2) Perut cepat terasa penuh saat makan
3) Mual
4) Muntah
5) Upper abdominal bloating
6) Rasa tak nyaman bertambah saat makan.
c. Dyspepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Pembagian akut dan kronis berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
4. Patofisiologi
Organik / Nonorganik
Diet dan lingkungan
Sekresi cairan asam lambung
Fungsi motorik lambung (motilitas)
Persepsi visceral lambung
Psikologis
Infeksi Hp
Peningkatan asam lambung
Iritasi mukosa lambung
Ulkus
Sumber : Dharmika (2001) dalam buku ajar ilmu penyakit dalam FKUI
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : Lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti antara lain pankreatitis kronis, diabetes mellitus, dan lainnya. Pada dyspepsia biasanya hasil laboratorium dalam batas normal.
b. Pemeriksaan radiologi yaitu, OMD dengan kontras ganda, serologi helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia).
c. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah :
1) CLO (Rapid urea test)
2) Patologi Anatomi (PA)
3) Kultur mikroorganisme (MO) jaringan
4) PCR (Polymerase Chain Reaction), hanya dalam rangka penelitian.
6. Penatalaksanaan
a. Modifikasi Pola Hidup
Klien perlu diberi penjelasan untuk dapat mengenali dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dyspepsia. Belum ada kesepakatan tentang bagaimana diet yang diberikan pada kasus dyspepsia. Penekanan lebih ditujukan untuk menghindari jenis makanan yang dirasakan sebagai faktor pencetus. Pola diet porsi kecil tetapi sering, makanan rendah lemak, hindari / kurangi makanan, minuman yang spesifik (kopi, alkohol, pedas, dll). Akan banyak mengurangi gejala terutama gejala setelah makan (Post prandial).
b. Obat - obatan
Sampai saat ini belum ada regimen pengobatannya yang memuaskan terutama dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena proses patofisiologinya pun masih belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus dyspepsia terhadap plasebo.
1) Antasida dapat mengurangi / menghilangkan keluhan, tetapi secara studi klinis tidak berbeda dengan efek plasebo.
2) Agen anti sekresi, obat antagonis reseptor H2 telah sering dipakai. Dari berbagai studi yang ada, sebagian diperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan plasebo tetapi sebagian lagi tidak.
3) Prokinetik, dari banyak studi penggunaan obat prokinetik, seperti metoklopramid, domperidon dan terutama cisapride, diperoleh hasil yang baik dipandingkan plasebo walaupun tidak jarang , didapat data tidak adanya korelasi perbaikan motilitas terhadap gejala / keluhan ataupun sebaliknya. Hal ini terutama pada kelompok kasus dyspepsia tipe dismotilitas.
4) Eradikasi Helicobaster Pylori ; Eradikasi Hp pada kasus dyspepsia kontroversial kecuali bila pada kasus dengan Hp positif yang gagal dengan terapi konvensional dapat disarankan untuk eradikasi Hp.
7. Diagnosa Banding
a. Penyakit Reflulis Gastro Esofadeal (PRGE)
Sebagian kasus PRGE tidak memperlihatkan kelainan mukosa yang jelas. Bila di duga adanya PRGE, maka pemeriksaan pH esofagus dalam bentuk pemantauan 24 jam dapat membedakannya dengan dyspepsia.
b. Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Keluhan klien harus dideskripsikan lebih spesifik. Pada IBS keluhan perut lebih bersifat difus dan terdapat gangguan pola defekasi.
8. Prognosis
Dyspepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.
B. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek - aspek pemeliharaan, rehabilitatif dan preventif perawatan kesehatan. (Doenges. 1999:6).
Proses keperawatan adalah metode sistematik dimana secara langsung perawat bersama klien menentukan masalah keperawatan sehingga membutuhkan asuhan keperawatan, membuat perencanaan dan rencana implementasi, serta mengevaluasi hasil asuhan keperawatan. (Gaffar, 1999).
Proses keperawatan telah diperkenalkan pada tahun 1960-an sebagai proses yang terdiri dari empat tahap : pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dimana tahapan diagnosa keperawatan masuk pada tahapan pengkajian yang didasarkan pada metode ilmiah pengamatan, pengukuran, pengumpulan data dan penganalisaan temuan. Kajian selama bertahun - tahun, penggunaan dan perbaikan telah mengarahkan perawat pada pengembangan proses keperawatan menjadi lima langkah yang kongkrit yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi yang memberikan metode efisien tentang pengorganisasian proses berfikir untuk pembuatan keputusan klinis.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematika untuk mengumpulkan data dan menganalisa sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. (Gaffar, 1999). Pengkajian adalah langkah awal dari proses keperawatan yang mencakup data yang dikumpulkan melalui wawancara pengumpulan riwayat kesehatan, pengkajian fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnosa, serta revieu catatan sebelumnya. Pada tahap ini semua data atau analisa tentang klien yang dibutuhkan dikumpulkan dan dianalisa untuk memenuhi diagnosa keperawatan. (Doenges, 1999:6).
Manfaat pengkajian adalah membantu mengidentifikasi status kesehatan, pola pertahanan klien, kekuatan dan kebutuhan klien, serta merumuskan diagnosa keperawatan. Pengkajian keperawatan terdiri dari tiga tahap yaitu pengumpulan, pengelompokan atau pengorganisasian serta menganalisa dan merumuskan diagnosa. (Gaffar, 1999).
Berdasarkan sumber data, data pengkajian dibedakan atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari klien, bagaimana kondisi klien. Artinya data tersebut dapat diperoleh melalui walaupun klien tidak sadar sehingga tidak dapat berkomunikasi. Misalnya data tentang kebersihan diri, data tentang status kesadaran sehingga terlepas dari lengkap tidaknya data yang terkumpul. Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari klien, seperti dari perawat , dokter, alhi gizi, ahli fisioterapi, catatan keperawatan, pemeriksaan laboratorium, hasil rontgen, pemeriksaan diagnostik lain, keluarga dan teman.
Pengkajian yang ditemukan pada klien dyspepsia menurut Brunner and Suddarth (2001) adalah sebagai berikut : selama mengumpulkan riwayat, perawat menanyakan tentang tanda dan gejala pada klien. Apakah klien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual, atau muntah? Apakah gejala terjadi pada waktu kapan saja, sebelum atau sesudah makan, setelah mencerna makanan pedas atau pengiritasi, atau setelah mencerna obat tertentu aaatau alkohol?. Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress, alergi, makanan atau minuman terlalu banyak, atau makan terlalu cepat? Bagaimana gejala hilang? Adakah riwayat penyakit lambung sebelumnya atau pembedahan lambung? Riwayat diet ditambah jenis diet yang baru dimakan selama 72 jam. Apakah kelebihan diet atau diet sembrono, apakah orang lain pada lingkungan klien mempunyai gejala serupa, apakah klien memuntahkan darah, dan apakah elemen penyebab yang diketahui telag tertelan.
Tanda yang diketahui selama pemeriksaan fisik mrncakup nyeri tekan abdomen, dehidrasi (perubahan turgor kulit, membran mukosa kering), dan bukti adanya gangguan sistemik (takikardia, hipotensi). Lamanya waktu dimana gejala saat ini hilang dan metode yang digunakan oleh klien untuk mengatasi gejala serta efek-efeknya.
Menurut Tucker (1998) pengkajian pada klien dengan dyspepsia adalah sebagai berikut :
a. Keluhan utama
Nyeri/pedih pada epigastrium disamping atas dan bagian samping dada depan epigastrium, mual, muntah dan tidak ada nafsu makan, kembung, rasa kenyang.
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Sering nyeri pada daerah epigastrium, adanya stress psikologis, riwayat minum-minuman beralkohol.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah anggota keluarga yang lain juga pernah menderita penyakit saluran cerna.
d. Pola aktivitas
Pola makan yaitu kebiasaan makan yang tidak teratur, makan makanan yang merangsang selaput mukosa lambung, berat badan sebelum dan sesudah sakit.
e. Aspek psikososial
Keadaan emosional, hubungan dengan keluarga, teman, adanya masalah interpersonal yang bisa menyebabkan stress.
f. Aspek ekonomi
Jenis pekerjaan dan jadwal kerja, jarak tempat kerja dan tempat tinggal, hal-hal dalam pekerjaan yang mempengaruhi stress psikologis dan pola makan.
g. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Klien tampak kesakitan, berat badan menurun, kelemahan dan cemas.
2) Palpasi
Nyeri tekan daerah epigastrium, turgor kulit menurun karena pasien sering muntah.
3) Auskultasi
Peristaltik sangat lambat dan hampir tidak terdengar (kurang dari lima kali permenit)
4) Perkusi
Pekak karena meningkatnya produksi HCL lambung dan perdarahan akibat perlukaan.
h. Laboratorium
Dilakukan analisis cairan lambung.
1) Endoskopi.
2) Pemeriksaan diagnostik.
Feses ada darah (melena) jika terjadi perdarahan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta terhadap masalah, akibat dan resiko tinggi. (Doenges. 1999:8)
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap proses kehidupan / masalah kesehatan yang aktual atau potensial ( Carpenito,1998 ).
Dari berbagai pengertian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa diagnosa keperawatan adalah suatu kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan yang dapat menjelaskan masalah kesehatan klien aktual atau potensial.
Diagnosa keperawatan merupakan langkah kedua dari proses keperawatan setelah pengkajian data. Diagnosa keperawatan merupakan formulasi kunci dari proses keperawatan karena merupakan “client responses by health problem” atau respon klien terhadap masalah kesehatan. Oleh karena itu diagnosa keperawatan berorientasi pada kebutuhan dasar manusia berdasar teori kebutuhan dasar Abraham Maslow, memperlihatkan respon individu/klien terhadap penyakit dan kondisi yang dialaminya.
Manfaat diagnosa keperawatan adalah sebagai pedoman dalam pemberian asuhan keperawatan karena menggambarkan status masalah kesehatan serta penyebab adanya masalah tersebut, membedakan diagnosa keperawatan dan diagnosa medis serta menyamakan kesatuan bahasa antar perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara konfrehensif.
Diagnosa keperawatan dibagi sesuai dengan masalah klien yang sering terjadi yaitu :
a. Aktual yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai data klinis yang ditemukan.
b. Resiko terjadi yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi keperawatan, saat ini masalah keperawatan belum ada tapi etiologi sudah ada.
c. Possible yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan bahwa perlu data tambahan untuk memastikan timbulnya masalah.
Menurut Tucker dan Carpenito (1998), pada klien dengan dyspepsia akan ditemukan tiga masalah keperawatan yaitu :
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan rasa tidak nyaman anoreksia, mual, muntah.
b. Nyeri berhubungan dengan efek sekresi asam lambung pada jaringan yang rusak, iritasi dan diserupsi mukosa lambung.
c. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang perawatan rumah dan status nutrisi.
Sedangkan menurut Brunner and Suddarth (2001), dalam buku ajar keperawatan Medikal-Bedah volume II, diagnosa keperawatan yang ditemui adalah :
a. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan nutrien yang tidak adekuat.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan tidak cukup dan kehilangan cairan berlebihan karena muntah.
c. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan diet dan proses penyakit.
d. Nyeri berhubungan dengan mukosa lambung teriritasi.
e. Ansietas berhubungan dengan pengobatan
3. Perencanan
Rencana keperawatan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Setelah merumuskan diagnosis keperawatan maka intervensi keperawatan dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. (Keliat,1991). Rencana pelayanan keperawatan dipandang sebagai inti atau pokok proses keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan keperawatan. Tujuan perencanaan adalah mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. Tahapan perencanaan keperawatan adalah sebagai berikut :
a. Menentukan prioritas diagnosa keperawatan.
b. Menetapkan sasaran dan tujuan.
c. Menetapkan kriteria evaluasi.
d. Merumuskan intervensi dan aktivitas keperawatan.
Menurut Tucker (1998) dan Doenges (1999), perencanaan berdasarkan diagnosa yang mungkin timbul pada klien dyspepsia, yaitu :
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan rasa yang tidak nyaman, anoreksia, mual, muntah, kembung.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi secara optimal.
Kritaria hasil :
1) Klien mengatakan tidak merasa lemas
2) Porsi makan yang disediakan dihabiskan
Rencana tindakan :
1) Buat jadwal masukan tiap jam. Anjurkan mengukur cairan / makanan dan minum sedikit demi sedikit atau makan dengan perlahan.
Rasional : Setelah tindakan pembagian, kapasitas gaster menurun kurang lebih 50 mm, sehingga perlu makan sedikit tapi sering.
2) Timbang berat badan tiap hari. Buat jadwal teratur setelah pulang.
Rasional : Pengawasan kehilangan dan alat pengkajian kebutuhan nutrisi / keefektifan terapi.
3) Tekankan pentingnya menyadari kenyang dan menghentikan makan.
Rasional : Makan berlebihan dapat menyebabkan mual / muntah atau kerusakan operasi pembagian.
4) Diskusikan makanan yang disukai klien dan makanan dalam diet murni.
Rasional : Dapat menyebabkan masukan, meningkatkan rasa berpartisipasi / kontrol.
5) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet dan dokter untuk pemberian vitamin sesuai indikasi.
Rasional : tambahan dapat diperlukan untuk mencegah anemia karena gangguan absorbsi. Peningkatan motilitas usus dan menambah nafsu makan.
6) Ciptakan lingkungan perawatan yang nyaman.
Rasional : Lingkungan yang nyaman mengurangi stres dan dapat meningkatkan nafsu makan.
7) Beri penjelasan tentang pentingnya nutrisi yang adekuat.
Rasional : Kesadaran tentang pentingnya nutrisi dapat meningkatkan intake yang adekuat.
b. Nyeri yang berhubungan dengan efek sekresi asam lambung pada jaringan yang rusak, iritasi dan diserupsi mukosa lambung atau motilitas.
Tujuan : Nyeri berkurang / hilang.
Kriteria hasil :
1) Klien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah tidak meringis
3) Tidak ada distensi abdomen
Rencana tindakan :
1) Catat keluhan nyeri, lokasi, lamanya, dan intensitas (skala nyeri 0-10).
Rasional : nyeri tidak selalu ada tetapi bila ada harus dibandingkan dengan gejala nyeri sebelumnya dimana dapat membantu mendiagnosa etiologi perdarahan dan terjadi komplikasai.
2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.
Rasional : Membantu dalam membuat diagnosa dan kebutuhan terapi.
3) Kaji tanda vital.
Rasional : Nyeri dapat mempengaruhi tanda vital.
4) Catat petunjuk nyeri non verbal. Contoh gelisah, menolak bergerak, berhati - hati dengan abdomen, takikardia, berkeringat. Selidiki ketidaksesuaian antara petunjuk non verbal dan verbal.
Rasional : Petunjuk non verbal dapat berupa fisiologis dan psikologis dan dapat digunakan dalam menghubungkan petunjuk verbal untuk mengidentifikasi luas/beratnya masalah.
5) Berikan makanan sedikit tapi sering sesuai indikasi untuk klien.
Rasional : Makanan mempunyai efek penetralisir asam, juga menghancurkan kandungan gaster.
6) Identifikasi dan batasi makanan yang menimbulkan ketidaknyamanan.
Rasional : Makanan sedikit mencegah distensi dan haluan gastrin.
7) Bantu latihan rentang gerak pasif/aktif. Ajarkan teknik relaksasi, seperti nafas dalam.
Rasional : Menurunkan kekakuan sendi, meminimalkan nyeri / ketidaknyamanan.
8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan dan melakukan perubahan diet.
Rasional : Klien mungkin diberikan makanan yang tidak mengandung gas, dan bahan yang merangsang asam lambung.
9) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi. Misal antasida.
Rasional : Menurunkan keasaman gaster dengan absorpsi atau dengan menetralisir kimia.evaluasi tipe antasida dalam gambaran kesehatan total, mis : pembatasan natrium.
c. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit, pengobatan, perawatan rumah dan status nutrisi.
Tujuan : Klien mengetahui dan memahami tentang penyakit / kondisi yang dirasakan.
Kriteria hasil :
1) Klien berpartisipasi dalam proses belajar
2) Klien memberikan pernyataan verbal atas pemahamannya.
3) Klien mampu menjawab pertanyaan saat evaluasi
Rencana tindakan :
1) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakitnya.
Rasional : Memberikan informasi dimana klien/orang terdekat dapat memilih berdasarkan informasi. Pengetahuan tentang penyakit membantu untuk memahami kebutuhan terhadap terapi.
2) Evaluasi pendidikan kesehatan yang telah diberikan.
Rasional : Mengidentifikasi pemahaman klien/keluarga dan masalah yang potensial dapat terjadi, sehingga solusi alternatif dapat ditentukan.
3) Beri reward atas kemampuan yang telah ditunjukkan klien.
Rasional : Meningkatkan motivasi klien / kelurga dalam pembelajaran.
4) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar klien dan juga keluarganya.
Rasional : Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien / keluarga.
5) Anjurkan klien untuk mendatangi sumber - sumber pelayanan untuk memperoleh penjelasan lebih lanjut jika klien telah kembali ke masyarakat.
Rasional : Meningkatkan dukungan untuk klien selama periode penyembuhan dan memberikan evaluasi tambahan pada kebutuhan yang sedang berjalan/perhatian baru.
6) Jelaskan pentingnya kontrol kesehatan untuk mengevaluasi dengan tim rehabilitasi untuk menindaklanjuti program terapi klien di luar rumah sakit.
Rasional : Membantu perkembangan penyembuhan.
4. Pelaksanaan.
Pelaksanaan adalah perskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pelaksanaan dan atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. (Doenges, 1999:10).
Implementasi merupakan pelaksananan perencananan keperawatan oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan teknikal, intervensi harus dilakukan secara cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan fisiologi dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan (Gaffar ,1999).
Ada tiga fase implementasi keperawatan yaitu :
a. Fase persiapan meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan mengimplementasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.
b. Fase operasional merupakan puncak implementasi dengan berorientasi pada tujuan. Implementasi dapat dilakukan dengan intervensi independen atau mandiri, dependen atau tidak mandiri, interdependen atau sering disebut dengan tindakan kolaborasi.
c. Fase terminasi, merupakan terminasi perawat dengan klien setelah implementasi dilakukan.
Implementasi yang diharapkan pada klien dyspepsia harus sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. (Hidayat, 2002: 41). Evaluasi merupakan catatan tentang indikasi kemajuan klien terhadap tujuan yang dicapai. Evaluasi bertujan untuk menilai keefektifan perawatan dan untuk mengkomunikasikan status klien dari hasil tindakan keperawatan. Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan.
Dalam evaluasi terdapat dua tipe dokumentasi evaluasi yaitu evaluasi formatif yang menyatakan evaluasi dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera, sedangkan evaluasii sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisa status klien pada waktu tertentu.
Ada tiga alternatif dalam menafsirkan hasil evaluasi, yaitu :
a. Masalah Teratasi.
Masalah teratasi apabila klien atau keluarga menunjukkan perubahan
b. Masalah Teratasi Sebagian
Masalah teratasi sebagian apabila klien atau keluarga menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
c. Masalah Belum Teratasi
Masalah belum teratasi apabila klien atau keluarga sama sekali tidak menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul masalah yang baru.
Tujuan evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencana keperawatan, menilai dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan melalui perbandingan pelayanan keperawatan yang diberikan serta hasilnya dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kemudahan atau kesulitan evaluasi dipengaruhi oleh kejelasan tujuan dan bisa tidaknya tujuan tersebut diukur. Disamping evaluasi yang dilakukan oleh perawat yang bertanggung jawab pada klien, pelayanan keperawatan yang diberikan kepada klien dapat dinilai juga oleh klien sendiri, teman kerja perawat. Evaluasi menunjang tanggung jawab dan tanggung gugat pelayanan keperawatan yang merupakan salah satu ciri profesi serta menentukan efisiensi dan efektifitas asuhan keperawatan yang diberkan kepada klien.
DAFTAR PUSTAKA
Bates, Barbara. (1997). Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi 2. Jakarta. EGC
Brunner and Suddarth. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Edisi 8. volume 2. Jakarta. EGC.
1. Pengertian
Dyspepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan (Arif, 2000).
Dyspepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, sendawa (Dharmika, 2001).
Sedangkan menurut Aziz (1997), sindrom dyspepsia merupakan kumpulan gejala yang sudah dikenal sejak lama, terdiri dari rasa nyeri epigastrium, kembung, rasa penuh, serta mual-mual.
2. Etiologi
Penyebab dyspepsia dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Dyspepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya (misalnya tukak peptic, gastritis, pankreastitis, kolesistitis dan lainnya).
b. Dyspepsia non organik atau dyspepsia fungsional atau dyspepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.
3. Tanda dan Gejala
Didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dyspepsia menjadi tiga tipe :
a. Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala :
1) Nyeri epigastrium terlokalisasi
2) Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
3) Nyeri saat lapar
4) Nyeri episodik
b. Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia), dengan gejala :
1) Mudah kenyang
2) Perut cepat terasa penuh saat makan
3) Mual
4) Muntah
5) Upper abdominal bloating
6) Rasa tak nyaman bertambah saat makan.
c. Dyspepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Pembagian akut dan kronis berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
4. Patofisiologi
Organik / Nonorganik
Diet dan lingkungan
Sekresi cairan asam lambung
Fungsi motorik lambung (motilitas)
Persepsi visceral lambung
Psikologis
Infeksi Hp
Peningkatan asam lambung
Iritasi mukosa lambung
Ulkus
Sumber : Dharmika (2001) dalam buku ajar ilmu penyakit dalam FKUI
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : Lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti antara lain pankreatitis kronis, diabetes mellitus, dan lainnya. Pada dyspepsia biasanya hasil laboratorium dalam batas normal.
b. Pemeriksaan radiologi yaitu, OMD dengan kontras ganda, serologi helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia).
c. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah :
1) CLO (Rapid urea test)
2) Patologi Anatomi (PA)
3) Kultur mikroorganisme (MO) jaringan
4) PCR (Polymerase Chain Reaction), hanya dalam rangka penelitian.
6. Penatalaksanaan
a. Modifikasi Pola Hidup
Klien perlu diberi penjelasan untuk dapat mengenali dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dyspepsia. Belum ada kesepakatan tentang bagaimana diet yang diberikan pada kasus dyspepsia. Penekanan lebih ditujukan untuk menghindari jenis makanan yang dirasakan sebagai faktor pencetus. Pola diet porsi kecil tetapi sering, makanan rendah lemak, hindari / kurangi makanan, minuman yang spesifik (kopi, alkohol, pedas, dll). Akan banyak mengurangi gejala terutama gejala setelah makan (Post prandial).
b. Obat - obatan
Sampai saat ini belum ada regimen pengobatannya yang memuaskan terutama dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena proses patofisiologinya pun masih belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus dyspepsia terhadap plasebo.
1) Antasida dapat mengurangi / menghilangkan keluhan, tetapi secara studi klinis tidak berbeda dengan efek plasebo.
2) Agen anti sekresi, obat antagonis reseptor H2 telah sering dipakai. Dari berbagai studi yang ada, sebagian diperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan plasebo tetapi sebagian lagi tidak.
3) Prokinetik, dari banyak studi penggunaan obat prokinetik, seperti metoklopramid, domperidon dan terutama cisapride, diperoleh hasil yang baik dipandingkan plasebo walaupun tidak jarang , didapat data tidak adanya korelasi perbaikan motilitas terhadap gejala / keluhan ataupun sebaliknya. Hal ini terutama pada kelompok kasus dyspepsia tipe dismotilitas.
4) Eradikasi Helicobaster Pylori ; Eradikasi Hp pada kasus dyspepsia kontroversial kecuali bila pada kasus dengan Hp positif yang gagal dengan terapi konvensional dapat disarankan untuk eradikasi Hp.
7. Diagnosa Banding
a. Penyakit Reflulis Gastro Esofadeal (PRGE)
Sebagian kasus PRGE tidak memperlihatkan kelainan mukosa yang jelas. Bila di duga adanya PRGE, maka pemeriksaan pH esofagus dalam bentuk pemantauan 24 jam dapat membedakannya dengan dyspepsia.
b. Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Keluhan klien harus dideskripsikan lebih spesifik. Pada IBS keluhan perut lebih bersifat difus dan terdapat gangguan pola defekasi.
8. Prognosis
Dyspepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.
B. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek - aspek pemeliharaan, rehabilitatif dan preventif perawatan kesehatan. (Doenges. 1999:6).
Proses keperawatan adalah metode sistematik dimana secara langsung perawat bersama klien menentukan masalah keperawatan sehingga membutuhkan asuhan keperawatan, membuat perencanaan dan rencana implementasi, serta mengevaluasi hasil asuhan keperawatan. (Gaffar, 1999).
Proses keperawatan telah diperkenalkan pada tahun 1960-an sebagai proses yang terdiri dari empat tahap : pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dimana tahapan diagnosa keperawatan masuk pada tahapan pengkajian yang didasarkan pada metode ilmiah pengamatan, pengukuran, pengumpulan data dan penganalisaan temuan. Kajian selama bertahun - tahun, penggunaan dan perbaikan telah mengarahkan perawat pada pengembangan proses keperawatan menjadi lima langkah yang kongkrit yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi yang memberikan metode efisien tentang pengorganisasian proses berfikir untuk pembuatan keputusan klinis.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematika untuk mengumpulkan data dan menganalisa sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. (Gaffar, 1999). Pengkajian adalah langkah awal dari proses keperawatan yang mencakup data yang dikumpulkan melalui wawancara pengumpulan riwayat kesehatan, pengkajian fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnosa, serta revieu catatan sebelumnya. Pada tahap ini semua data atau analisa tentang klien yang dibutuhkan dikumpulkan dan dianalisa untuk memenuhi diagnosa keperawatan. (Doenges, 1999:6).
Manfaat pengkajian adalah membantu mengidentifikasi status kesehatan, pola pertahanan klien, kekuatan dan kebutuhan klien, serta merumuskan diagnosa keperawatan. Pengkajian keperawatan terdiri dari tiga tahap yaitu pengumpulan, pengelompokan atau pengorganisasian serta menganalisa dan merumuskan diagnosa. (Gaffar, 1999).
Berdasarkan sumber data, data pengkajian dibedakan atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari klien, bagaimana kondisi klien. Artinya data tersebut dapat diperoleh melalui walaupun klien tidak sadar sehingga tidak dapat berkomunikasi. Misalnya data tentang kebersihan diri, data tentang status kesadaran sehingga terlepas dari lengkap tidaknya data yang terkumpul. Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari klien, seperti dari perawat , dokter, alhi gizi, ahli fisioterapi, catatan keperawatan, pemeriksaan laboratorium, hasil rontgen, pemeriksaan diagnostik lain, keluarga dan teman.
Pengkajian yang ditemukan pada klien dyspepsia menurut Brunner and Suddarth (2001) adalah sebagai berikut : selama mengumpulkan riwayat, perawat menanyakan tentang tanda dan gejala pada klien. Apakah klien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual, atau muntah? Apakah gejala terjadi pada waktu kapan saja, sebelum atau sesudah makan, setelah mencerna makanan pedas atau pengiritasi, atau setelah mencerna obat tertentu aaatau alkohol?. Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress, alergi, makanan atau minuman terlalu banyak, atau makan terlalu cepat? Bagaimana gejala hilang? Adakah riwayat penyakit lambung sebelumnya atau pembedahan lambung? Riwayat diet ditambah jenis diet yang baru dimakan selama 72 jam. Apakah kelebihan diet atau diet sembrono, apakah orang lain pada lingkungan klien mempunyai gejala serupa, apakah klien memuntahkan darah, dan apakah elemen penyebab yang diketahui telag tertelan.
Tanda yang diketahui selama pemeriksaan fisik mrncakup nyeri tekan abdomen, dehidrasi (perubahan turgor kulit, membran mukosa kering), dan bukti adanya gangguan sistemik (takikardia, hipotensi). Lamanya waktu dimana gejala saat ini hilang dan metode yang digunakan oleh klien untuk mengatasi gejala serta efek-efeknya.
Menurut Tucker (1998) pengkajian pada klien dengan dyspepsia adalah sebagai berikut :
a. Keluhan utama
Nyeri/pedih pada epigastrium disamping atas dan bagian samping dada depan epigastrium, mual, muntah dan tidak ada nafsu makan, kembung, rasa kenyang.
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Sering nyeri pada daerah epigastrium, adanya stress psikologis, riwayat minum-minuman beralkohol.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah anggota keluarga yang lain juga pernah menderita penyakit saluran cerna.
d. Pola aktivitas
Pola makan yaitu kebiasaan makan yang tidak teratur, makan makanan yang merangsang selaput mukosa lambung, berat badan sebelum dan sesudah sakit.
e. Aspek psikososial
Keadaan emosional, hubungan dengan keluarga, teman, adanya masalah interpersonal yang bisa menyebabkan stress.
f. Aspek ekonomi
Jenis pekerjaan dan jadwal kerja, jarak tempat kerja dan tempat tinggal, hal-hal dalam pekerjaan yang mempengaruhi stress psikologis dan pola makan.
g. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Klien tampak kesakitan, berat badan menurun, kelemahan dan cemas.
2) Palpasi
Nyeri tekan daerah epigastrium, turgor kulit menurun karena pasien sering muntah.
3) Auskultasi
Peristaltik sangat lambat dan hampir tidak terdengar (kurang dari lima kali permenit)
4) Perkusi
Pekak karena meningkatnya produksi HCL lambung dan perdarahan akibat perlukaan.
h. Laboratorium
Dilakukan analisis cairan lambung.
1) Endoskopi.
2) Pemeriksaan diagnostik.
Feses ada darah (melena) jika terjadi perdarahan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta terhadap masalah, akibat dan resiko tinggi. (Doenges. 1999:8)
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap proses kehidupan / masalah kesehatan yang aktual atau potensial ( Carpenito,1998 ).
Dari berbagai pengertian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa diagnosa keperawatan adalah suatu kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan yang dapat menjelaskan masalah kesehatan klien aktual atau potensial.
Diagnosa keperawatan merupakan langkah kedua dari proses keperawatan setelah pengkajian data. Diagnosa keperawatan merupakan formulasi kunci dari proses keperawatan karena merupakan “client responses by health problem” atau respon klien terhadap masalah kesehatan. Oleh karena itu diagnosa keperawatan berorientasi pada kebutuhan dasar manusia berdasar teori kebutuhan dasar Abraham Maslow, memperlihatkan respon individu/klien terhadap penyakit dan kondisi yang dialaminya.
Manfaat diagnosa keperawatan adalah sebagai pedoman dalam pemberian asuhan keperawatan karena menggambarkan status masalah kesehatan serta penyebab adanya masalah tersebut, membedakan diagnosa keperawatan dan diagnosa medis serta menyamakan kesatuan bahasa antar perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara konfrehensif.
Diagnosa keperawatan dibagi sesuai dengan masalah klien yang sering terjadi yaitu :
a. Aktual yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai data klinis yang ditemukan.
b. Resiko terjadi yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi keperawatan, saat ini masalah keperawatan belum ada tapi etiologi sudah ada.
c. Possible yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan bahwa perlu data tambahan untuk memastikan timbulnya masalah.
Menurut Tucker dan Carpenito (1998), pada klien dengan dyspepsia akan ditemukan tiga masalah keperawatan yaitu :
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan rasa tidak nyaman anoreksia, mual, muntah.
b. Nyeri berhubungan dengan efek sekresi asam lambung pada jaringan yang rusak, iritasi dan diserupsi mukosa lambung.
c. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang perawatan rumah dan status nutrisi.
Sedangkan menurut Brunner and Suddarth (2001), dalam buku ajar keperawatan Medikal-Bedah volume II, diagnosa keperawatan yang ditemui adalah :
a. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan nutrien yang tidak adekuat.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan tidak cukup dan kehilangan cairan berlebihan karena muntah.
c. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan diet dan proses penyakit.
d. Nyeri berhubungan dengan mukosa lambung teriritasi.
e. Ansietas berhubungan dengan pengobatan
3. Perencanan
Rencana keperawatan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Setelah merumuskan diagnosis keperawatan maka intervensi keperawatan dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. (Keliat,1991). Rencana pelayanan keperawatan dipandang sebagai inti atau pokok proses keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan keperawatan. Tujuan perencanaan adalah mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. Tahapan perencanaan keperawatan adalah sebagai berikut :
a. Menentukan prioritas diagnosa keperawatan.
b. Menetapkan sasaran dan tujuan.
c. Menetapkan kriteria evaluasi.
d. Merumuskan intervensi dan aktivitas keperawatan.
Menurut Tucker (1998) dan Doenges (1999), perencanaan berdasarkan diagnosa yang mungkin timbul pada klien dyspepsia, yaitu :
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan rasa yang tidak nyaman, anoreksia, mual, muntah, kembung.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi secara optimal.
Kritaria hasil :
1) Klien mengatakan tidak merasa lemas
2) Porsi makan yang disediakan dihabiskan
Rencana tindakan :
1) Buat jadwal masukan tiap jam. Anjurkan mengukur cairan / makanan dan minum sedikit demi sedikit atau makan dengan perlahan.
Rasional : Setelah tindakan pembagian, kapasitas gaster menurun kurang lebih 50 mm, sehingga perlu makan sedikit tapi sering.
2) Timbang berat badan tiap hari. Buat jadwal teratur setelah pulang.
Rasional : Pengawasan kehilangan dan alat pengkajian kebutuhan nutrisi / keefektifan terapi.
3) Tekankan pentingnya menyadari kenyang dan menghentikan makan.
Rasional : Makan berlebihan dapat menyebabkan mual / muntah atau kerusakan operasi pembagian.
4) Diskusikan makanan yang disukai klien dan makanan dalam diet murni.
Rasional : Dapat menyebabkan masukan, meningkatkan rasa berpartisipasi / kontrol.
5) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet dan dokter untuk pemberian vitamin sesuai indikasi.
Rasional : tambahan dapat diperlukan untuk mencegah anemia karena gangguan absorbsi. Peningkatan motilitas usus dan menambah nafsu makan.
6) Ciptakan lingkungan perawatan yang nyaman.
Rasional : Lingkungan yang nyaman mengurangi stres dan dapat meningkatkan nafsu makan.
7) Beri penjelasan tentang pentingnya nutrisi yang adekuat.
Rasional : Kesadaran tentang pentingnya nutrisi dapat meningkatkan intake yang adekuat.
b. Nyeri yang berhubungan dengan efek sekresi asam lambung pada jaringan yang rusak, iritasi dan diserupsi mukosa lambung atau motilitas.
Tujuan : Nyeri berkurang / hilang.
Kriteria hasil :
1) Klien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah tidak meringis
3) Tidak ada distensi abdomen
Rencana tindakan :
1) Catat keluhan nyeri, lokasi, lamanya, dan intensitas (skala nyeri 0-10).
Rasional : nyeri tidak selalu ada tetapi bila ada harus dibandingkan dengan gejala nyeri sebelumnya dimana dapat membantu mendiagnosa etiologi perdarahan dan terjadi komplikasai.
2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.
Rasional : Membantu dalam membuat diagnosa dan kebutuhan terapi.
3) Kaji tanda vital.
Rasional : Nyeri dapat mempengaruhi tanda vital.
4) Catat petunjuk nyeri non verbal. Contoh gelisah, menolak bergerak, berhati - hati dengan abdomen, takikardia, berkeringat. Selidiki ketidaksesuaian antara petunjuk non verbal dan verbal.
Rasional : Petunjuk non verbal dapat berupa fisiologis dan psikologis dan dapat digunakan dalam menghubungkan petunjuk verbal untuk mengidentifikasi luas/beratnya masalah.
5) Berikan makanan sedikit tapi sering sesuai indikasi untuk klien.
Rasional : Makanan mempunyai efek penetralisir asam, juga menghancurkan kandungan gaster.
6) Identifikasi dan batasi makanan yang menimbulkan ketidaknyamanan.
Rasional : Makanan sedikit mencegah distensi dan haluan gastrin.
7) Bantu latihan rentang gerak pasif/aktif. Ajarkan teknik relaksasi, seperti nafas dalam.
Rasional : Menurunkan kekakuan sendi, meminimalkan nyeri / ketidaknyamanan.
8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan dan melakukan perubahan diet.
Rasional : Klien mungkin diberikan makanan yang tidak mengandung gas, dan bahan yang merangsang asam lambung.
9) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi. Misal antasida.
Rasional : Menurunkan keasaman gaster dengan absorpsi atau dengan menetralisir kimia.evaluasi tipe antasida dalam gambaran kesehatan total, mis : pembatasan natrium.
c. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit, pengobatan, perawatan rumah dan status nutrisi.
Tujuan : Klien mengetahui dan memahami tentang penyakit / kondisi yang dirasakan.
Kriteria hasil :
1) Klien berpartisipasi dalam proses belajar
2) Klien memberikan pernyataan verbal atas pemahamannya.
3) Klien mampu menjawab pertanyaan saat evaluasi
Rencana tindakan :
1) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakitnya.
Rasional : Memberikan informasi dimana klien/orang terdekat dapat memilih berdasarkan informasi. Pengetahuan tentang penyakit membantu untuk memahami kebutuhan terhadap terapi.
2) Evaluasi pendidikan kesehatan yang telah diberikan.
Rasional : Mengidentifikasi pemahaman klien/keluarga dan masalah yang potensial dapat terjadi, sehingga solusi alternatif dapat ditentukan.
3) Beri reward atas kemampuan yang telah ditunjukkan klien.
Rasional : Meningkatkan motivasi klien / kelurga dalam pembelajaran.
4) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar klien dan juga keluarganya.
Rasional : Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien / keluarga.
5) Anjurkan klien untuk mendatangi sumber - sumber pelayanan untuk memperoleh penjelasan lebih lanjut jika klien telah kembali ke masyarakat.
Rasional : Meningkatkan dukungan untuk klien selama periode penyembuhan dan memberikan evaluasi tambahan pada kebutuhan yang sedang berjalan/perhatian baru.
6) Jelaskan pentingnya kontrol kesehatan untuk mengevaluasi dengan tim rehabilitasi untuk menindaklanjuti program terapi klien di luar rumah sakit.
Rasional : Membantu perkembangan penyembuhan.
4. Pelaksanaan.
Pelaksanaan adalah perskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pelaksanaan dan atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. (Doenges, 1999:10).
Implementasi merupakan pelaksananan perencananan keperawatan oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan teknikal, intervensi harus dilakukan secara cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan fisiologi dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan (Gaffar ,1999).
Ada tiga fase implementasi keperawatan yaitu :
a. Fase persiapan meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan mengimplementasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.
b. Fase operasional merupakan puncak implementasi dengan berorientasi pada tujuan. Implementasi dapat dilakukan dengan intervensi independen atau mandiri, dependen atau tidak mandiri, interdependen atau sering disebut dengan tindakan kolaborasi.
c. Fase terminasi, merupakan terminasi perawat dengan klien setelah implementasi dilakukan.
Implementasi yang diharapkan pada klien dyspepsia harus sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. (Hidayat, 2002: 41). Evaluasi merupakan catatan tentang indikasi kemajuan klien terhadap tujuan yang dicapai. Evaluasi bertujan untuk menilai keefektifan perawatan dan untuk mengkomunikasikan status klien dari hasil tindakan keperawatan. Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan.
Dalam evaluasi terdapat dua tipe dokumentasi evaluasi yaitu evaluasi formatif yang menyatakan evaluasi dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera, sedangkan evaluasii sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisa status klien pada waktu tertentu.
Ada tiga alternatif dalam menafsirkan hasil evaluasi, yaitu :
a. Masalah Teratasi.
Masalah teratasi apabila klien atau keluarga menunjukkan perubahan
b. Masalah Teratasi Sebagian
Masalah teratasi sebagian apabila klien atau keluarga menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
c. Masalah Belum Teratasi
Masalah belum teratasi apabila klien atau keluarga sama sekali tidak menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul masalah yang baru.
Tujuan evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencana keperawatan, menilai dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan melalui perbandingan pelayanan keperawatan yang diberikan serta hasilnya dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kemudahan atau kesulitan evaluasi dipengaruhi oleh kejelasan tujuan dan bisa tidaknya tujuan tersebut diukur. Disamping evaluasi yang dilakukan oleh perawat yang bertanggung jawab pada klien, pelayanan keperawatan yang diberikan kepada klien dapat dinilai juga oleh klien sendiri, teman kerja perawat. Evaluasi menunjang tanggung jawab dan tanggung gugat pelayanan keperawatan yang merupakan salah satu ciri profesi serta menentukan efisiensi dan efektifitas asuhan keperawatan yang diberkan kepada klien.
DAFTAR PUSTAKA
Bates, Barbara. (1997). Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi 2. Jakarta. EGC
Brunner and Suddarth. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Edisi 8. volume 2. Jakarta. EGC.
Label:
KATEGORI
Langganan:
Postingan (Atom)